Oleh: Agus Sudibyo | Maret 25, 2008

URGENSI UU PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh: Agus sudibyo

Salah-satu akar persoalan dari terpuruknya bangsa ini adalah problem korupsi. Korupsi merajalela di semua lini kehidupan publik. Alih-laih skala dan frekuensinya semakin menurun pasca reformasi 1998, kita justru dihadapkan pada korupsi-korupsi baru yang tidak kompleks dan eksesif daya-rusaknya. Jika mempertimbangkan skala dampak yang ditimbulkannya terhadap keuangan negara, kesejahteraan umum dan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, semestinya tak sulit untuk menyepakati bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Persoalannya kemudian, sejauhmana upaya kita untuk memerangi masalah korupsi ? Apakah kejahatan luar biasa itu telah diperangi dengan langkah-langkah dan strategi yang luar biasa pula ? Di sinilah rupa-rupanya persoalan kita. Berbagai upaya terobosan telah dilakukan untuk mereduksi dan mengurai problem-problem korupsi. Pihak yang terlibat pun juga sangat beragam : pemerintah, DPR, lembaga peradilan, media massa, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan lain-lain. Namun berbagai upaya dan terobosan tersebut terasa belum memadahi untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi, serta untuk menimbulkan kesadaran baru tentang good and clean governance yang menyeluruh pada struktur birokrasi pemerintahan.  Dengan kata lain, masih terjadi ketimpangan antara kompleksitas problem-problem korupsi di satu sisi, dengan lingkup dan kualitas upaya pemberantasan korupsi di sisi lain.

Salah-satu aspek yang sangat dibutuhkan dalam pemberantasan korupsi adalah keberadaan lembaga peradilan yang independen, kredibel dan kompetens untuk menangani kasus-kasus korupsi dengan kompleksitas masalahnya. Karena masalah korupsi pada akhirnya adalah masalah penegakan hukum, lembaga peradilanlah yang menjadi ujung tombak gerakan pemberantasan korupsi. Pada titik ini kemudian kita dihadapkan pada fakta tentang lembaga peradilan kita yang telah sedemikian identik dengan ketidakmandirian hukum, profesionalisme dan kompetensi yang lemah, serta pada gilirannya kerentanan terhadap manipulasi dan suap.

Dengan konstelasi masalah yang dimilikinya, Pengadilan Umum untuk sementara waktu tidak kompatibel bagi upaya-upaya hukum untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi dengan skala yang begitu beragam. Dan terbukti proses hukum atas kasus-kasus korupsi di pengadilan umum sejauh ini justru berujung pada sikap skeptis, bahkan anti-pati publik terhadap independensi peradilan di satu sisi, serta terhadap efektivitas penegakan hukum di bidang anti korupsi pada sisi lain.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kemudian dibentuk Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di tengah-tengah spesimisme  publik terhadap kapasitas lembaga peradilan dalam menangani kasus-kasus korupsi, Pengadilan Khusus Tipikor adalah suatu terobosan yang rasional dan urgens dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Persoalannya kemudian, bagaimana memperkuat kedudukan Pengadilan Khusus Tipikor tersebut ? Bagaimana membangun legitimasi hukum dan politik yang kondusif bagi eksistensi Pengadilan Khusus Tipikor ? Pertanyaan ini sangat krusial karena pasca pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor justru muncul masalah baru. Terjadi dualisme antara Pengadilan Khusus Tipikor dan Pengadilan Umum dalam mengadili perkara-perkara korupsi. Berdasarkan UU No 32/2002 di atas, Pengadilan Khusus Tipikor hanya berwenang memeriksa kasus dan tuntutan yang dilimpahkan oleh KPK. Sementara kasus korupsi yang tuntutannya diajukan oleh Kejaksaan, tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Umum. Dualisme penanganan kasus korupsi ini dalam prakteknya menyebabkan munculnya diskriminasi dan ketidakpastian hukum dalam pemberantasan korupsi.

Hingga pada gilirannya, Desember 2006, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan kasus korupsi hanya akan ditangani satu pengadilan saja. Sekilas Keputusan MK ini seperti menganulir keberadaan dan eksistensi Pengadilan Khusus Tipikor. Namun sesungguhnya Keputusan MK ini sesungguhnya justru merupakan peluang untuk pelembagaan dan penguatan kedudukan Pengadilan Khusus Tipikor. Keputusan MK itu menegaskan Pengadilan Tipikor tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai dilakukannya perubahan sistem peradilan korupsi dengan tenggap waktu 3 tahun terhitung sejak 19 Desember 2006.

Di sini, Putusan MK ini justru menjadi momentum yang bagus untuk memperjuangkan Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus semua perkara tindak pidana korupsi baik yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun yang diajukan penuntut dari KPK berdasarkan UU KPK No 32/2002. Yang harus dilakukan kemudian adalah mendorong dan mendukung DPR dan Pemerintah untuk melakukan legislasi atas RUU Pengadilan Khusus Tipikor, dengan tujuan memperkuat eksistensi Pengadilan Tipikor yang selama ini telah berjalan.

Urgensi Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) jelas sekali. Selain untuk menyelesaikan dualisme peradilan korupsi di atas, UU Pengadilan Tipikor juga sangat mendesak untuk memberikan legitimasi hukum dan legitimasi politik atas status dan kedudukan Pengadilan Khusus Tipikor. Fakta hukum yang kita hadapi di sini adalah, semua pengadilan khusus yang kita kenal sejauh ini, tak ada satu pun yang tidak dibentuk dan diatur berdasarkan undang-undang yang secara khusus dilahirkan untuk mengatur sebuah pengadilan khusus. Sekedar contoh bisa disebut di sini : UU Pengadilan Agama, UU Pengadilan Perikanan. Dengan kata lain, pengaturan Pengadilan Tipikor dalam UU  KPK tidak lazim secara hukum dan tidak memadahi untuk memberikan kewenangan luas untuk memeriksa dan memutus semua kasus korupsi pada Pengadilan Khusus Tipikor.

Perlu upaya advokasi yang sistemik dan menyeluruh untuk mendorong DPR dan Pemerintah mengagendakan perumusan dan legislasi  RUU Pengadilan Tipikor. Dalam konteks inilah, peranan media-massa sangat dibutuhkan. Media-massa adalah medium yang paling efektif untuk menciptakan kesadaran publik dan untuk menggalang tekanan publik yang kondusif bagi upaya legislasi RUU Pengadilan Tipikor. Media massa adalah sarana efektif untuk menyampaikan berbagai gagasan, pesan dan argumentasi kepada DPR dan Pemerintah, tentang seluk-beluk RUU Pengadilan Tipikor. Pada akhirnya, media massa adalah ruang bagi para pengambil kebijakan untuk menangkap aspirasi dan tuntutan-tuntutan publik.

 

Penulis : Agus Sudibyo, Anggota Task Force Penyusunan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

 


Tinggalkan komentar

Kategori