Kompas, 31 Oktober 2003
Jakarta, Kompas – Pengamat dan praktisi media, Rabu (29/10), mengkritik kebijakan penguasa darurat militer yang masih ketat membatasi ruang gerak wartawan di Nanggroe Aceh Darussalam. Bila kebijakan itu dilanjutkan, masyarakat dan pengambil keputusan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi sehingga kesalahan masa lalu pada era daerah operasi militer (DOM) bisa terulang.
Kritik itu disampaikan dalam diskusi pemberitaan konflik Aceh yang digelar Institut Studi Arus Informasi (ISAI) di Jakarta, Rabu. Hadir sebagai pembicara pengamat media Atmakusumah Asraatmadja dan Agus Sudibyo serta Direktur Utama Trans TV Dr Ishadi SK.
Menurut Ishadi, situasi di Aceh sekarang tak menantang bagi wartawan dibandingkan sebelum darurat militer. Pers kini terjepit di tengah-tengah, tidak disukai TNI maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ishadi mendesak agar pemerintah dan aparat keamanan membuka kembali akses media dalam peliputan Aceh. Keterbukaan itu, kata Ishadi, justru akan menyelamatkan semua pihak, baik rakyat Aceh maupun TNI/Polri. Dibukanya akses untuk peliputan di Aceh akan mencegah pelanggaran HAM yang pernah terjadi selama Orde Baru.
Hal senada dikatakan Atmakusumah. Pemberitaan secara transparan juga membantu pemerintah tetap pada sasaran operasi. Atmakusumah mempertanyakan apakah pemerintah masih konsisten pada tujuan menyelamatkan Aceh dengan menekan korban jiwa. “Pers bisa membantu pemerintah maupun militer tidak digugat lagi seperti pernah terjadi di masa Orde Baru,” katanya.
Ishadi dan Hersubeno dari Metro TV mengakui, selain kesulitan wartawan dalam peliputan di Aceh, menurunnya pemberitaan juga disebabkan besarnya biaya liputan.(wis))
Tinggalkan Balasan