Oleh: Agus Sudibyo | Maret 28, 2011

Ke-(tidak)-patutan di Layar Televisi

Oleh Agus Sudibyo

Seorang perwira polisi berguling-guling kesakitan. Tangannya putus bersimbah darah setelah gagal menjinakkan sebuah bom di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur.

Dengan kondisi mengenaskan, perwira polisi ini digotong menuju mobil ambulans. Seorang petugas keamanan yang juga menjadi korban ledakan bom tergeletak di halaman, beberapa orang berupaya menolongnya.

Sore 15 Maret 2011, horor bom ini ditayangkan beberapa stasiun televisi. Detik-detik meledaknya bom, potongan tangan terlempar ke udara, darah berceceran, dan perwira polisi berguling-guling berulang-ulang ditayangkan sepanjang sore hingga malam.

Setelah beberapa kali disajikan apa adanya, tayangan disamarkan sehingga darah, potongan tubuh, dan wajah korban tidak lagi kelihatan. Apa yang ditampilkan televisi ini benar-benar terjadi. Semuanya faktual, tanpa rekaan. Tak diragukan lagi, masyarakat juga menunggu berita semacam itu. Tayangan bermuatan kengerian dan sadisme itu sengaja diulang agar masyarakat dapat menangkap momen peristiwa secara utuh.

Persoalannya, karya jurnalistik tak hanya perihal faktualitas, kecepatan, dan eksklusivitas. Karya jurnalistik juga mesti menimbang kepatutan dan dampak. Ruang publik televisi bukan hanya harus memerhatikan apa yang membikin pemirsa memelototi layar televisi, melainkan juga apa dampak dari yang mengemuka di layar televisi. Menarik perhatian publik satu hal, memastikan yang menarik itu aman bagi pemirsa adalah hal lain yang tak kalah penting.

Dalam konteks ini, persoalannya bukan mengapa sebuah peristiwa diberitakan, tetapi bagaimana pemberitaan dilakukan. Apakah sudah memenuhi kepatutan atau keutamaan ruang publik media? Titik pijaknya cukup jelas, Kode Etik Jurnalistik dan Standar Program Siaran. Kode Etik Jurnalistik menegaskan wartawan Indonesia harus menghindari penayangan berita bermuatan sadisme, kekejaman, dan tidak menghormati pengalaman traumatis korban.

Standar Program Siaran lebih rinci menyatakan program siaran dilarang menampilkan ”secara detail korban yang berdarah-darah, korban/mayat dalam kondisi tubuh yang terpotong, dan kondisi yang mengenaskan lainnya”.

Dari sudut pandang kode etik dan standar siaran, cukup jelas problematik dalam pemberitaan televisi tentang bom ini. Pertama, ketika momen perwira polisi berguling kesakitan dengan tangan terputus ditayangkan di televisi, bagaimana kira-kira perasaan dia, keluarga, handai tolan, dan rekan-rekan kerjanya? Sedih, terguncang, malu, dan seterusnya. Dengan sedikit moralistik perlu dikatakan, media masa semestinya meringankan beban atau memberikan empati, tak justru menambah kesedihan dan memperdalam trauma mereka.

Kedua, apakah kekerasan, kengerian, dan horor dalam peristiwa itu patut disajikan untuk masyarakat dari segala umur dan lapisan? Pengaturan pembatasan tayangan yang menampilkan kekerasan, sadisme, dan kengerian sudah pasti didasarkan pada asumsi dan pengalaman bahwa tayangan semacam itu berdampak buruk terhadap psikologi khalayak, khususnya anak-anak. Pemberitaan yang vulgar dan penuh kengerian tentang peristiwa kekerasan juga berpotensi mengintensifkan ketakutan atau kepanikan dalam masyarakat, meski barangkali tujuan media adalah sebaliknya: meningkatkan kewaspadaan masyarakat.

Ketiga, yang juga patut diperhatikan, kemungkinan pajanan media televisi justru menginspirasi kelompok-kelompok ekstrem untuk melakukan tindakan teror lebih lanjut. Apa yang terjadi pada peristiwa bom Mumbay beberapa tahun lalu perlu jadi pelajaran. Tayangan langsung televisi saat itu menggambarkan detail upaya penanganan pascatragedi di Hotel Taj Mahal. Dari layar televisi, teroris memantau pergerakan aparat keamanan di lokasi kejadian.

Tayangan itu memandu mereka melakukan serangan lanjutan. Belasan aparat keamanan kemudian tewas karena berondongan senjata otomatis teroris! Tanpa mempertimbangkan dampak dan hanya mengejar kecepatan dan eksklusivitas, pemberitaan televisi justru memperunyam situasi dan ”memfasilitasi” jatuhnya korban lebih banyak.

Dilema

Dilema antara kecepatan dan keutamaan! Inilah yang kerap dihadapi media ketika menghadapi momentum kekerasan. Hasrat memburu kecepatan dan eksklusivitas berbenturan dengan imperatif untuk menjadikan ruang publik televisi kondusif bagi perwujudan nilai kewargaan, solidaritas, dan empati sosial. Dilema ini dilatarbelakangi determinasi media rating. Rating sebagai parameter kepemirsaan memang suatu keniscayaan dalam industri televisi. Persoalannya, rating cenderung jadi satu-satunya referensi proses kreatif dan produksi televisi. Padahal, rating hanya didesain untuk mengidentifikasi ”apa yang sering ditonton masyarakat”, bukan ”apa yang aman ditonton masyarakat”, atau ”apa yang dibutuhkan masyarakat”.

Parameter kuantitatif kepemirsaan seharusnya tidak menegasikan parameter kualitatif-voluntaristik: pemberdayaan, pencerdasan, dan pengembangan ruang demokrasi; karena di dalam diri media selalu bersanding dua entitas sekaligus: institusi bisnis dan institusi sosial pengembangan keadaban publik. Dari titik ini pula masyarakat seharusnya tak berdiam diri melihat berbagai ketidakpatutan di televisi. Masyarakat punya hak untuk bersikap tegas terhadap pelanggaran prinsip-prinsip ruang publik media.

Perlu inisiatif sekaligus ketelatenan untuk selalu mencatat kesalahan yang terjadi, menyampaikan keberatan secara langsung—tanpa kekerasan—kepada media penyiaran, menulis surat pembaca, dan mendiskusikannya di forum-forum warga. Tak kalah penting, memaksimalkan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers untuk menegakkan standar siaran dan kode etik secara konsekuen. Perbaikan kualitas ruang publik penyiaran akhirnya tergantung sikap masyarakat.

Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta

Kompas | Senin, 28 Maret 2011

 

 

Oleh: Agus Sudibyo | Januari 27, 2011

Politik Pelupaan

Agus Sudibyo WAKIL DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTA

Gerakan moral para agamawan mempermasalahkan kebohongan pemerintah dapat dilihat sebagai upaya memutus siklus pelupaan politik.Namun harus diingat, struktur ke kuasaan kita mempunyai daya elastisitas untuk menghadapi tekanan opini publik. Di samping masalah kebohongan, ketidakjujuran, atau keingkaran pemerintah terhadap rakyatnya sebagaimana telah menjadi ke prihatinan tokoh agama dan tokoh masyarakat belakangan ini, ada masalah lain yang tak kalah serius. Kebohongan dan keingkaran itu sesungguhnya berkelindan dengan problem pelupaan dalam konteks relasi antara Negara dan masyarakat di Indonesia. Kita sebagai bangsa telah lama terjangkiti sindrom “lupa politis”. Bukan hanya pemerintah, DPR, dan penegak hukum yang terjangkiti sindrom ini, tapi juga unsur-unsur masyarakat dalam gradasi yang berbeda. Kebohongan atau ketidakjujuran tumbuh subur dan semakin sistematis dalam kehidupan publik kita, karena kita mudah melupakan hal-hal yang sudah terjadi, bahkan diam-diam memaafkannya berdasarkan rasionalitas atau moralitas tertentu. Tanpa terkecuali terhadap kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya tidak layak dilupakan atau ditoleransi begitu saja.

Pada aras penyelenggara negara, terlalu banyak kasus yang dapat disebut. Di negeri ini, pelupaan politik sudah menjadi sesuatu yang sangat sistematik sebagaimana korupsi dan nepotisme. Saban awal periode pemerintahan, saban awal tahun, selalu dijanjikan komitmen pemerintah untuk memerangi korupsi, mewujudkan pemerintahan yang bersih, mereformasi birokrasi, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, menyelesaikan pelanggaran hak asasi. Namun nyatanya antara janji dan tindakan notabene tidak sejalan, dan tidak ada terobosan yang signifikan dalam aspek-aspek itu. Pertanyaannya yang perlu diajukan sekarang bahkan bukan sekadar “apakah pemerintah melaksanakan janji-janji yang telah diucapkan”, tetapi lebih radikal lagi “adakah di antara janji-janji itu yang masih diingat pemerintah”. Pertanyaannya bukan lagi “apakah para anggota DPR melaksanakan janji-janji pemilu”, melainkan “apakah mereka ingat pernah melontarkan janji-janji”.

Begitu sebuah pemerintahan dimulai, para penebar janji mulai menarik diri dan sibuk dengan urusan masing-masing, entah pribadi atau partai politik. Seakanakan tidak ada lagi ikatan yang kuat antara mereka dan masyarakat sebagai obyek janji-janji. Dalam kondisi normal penyelenggaraan kekuasaan, meminjam istilah Max Weber, para pemimpin politik lebih sering memposisikan diri sebagai “orang-orang yang hidup dari politik”dan bukannya “orang-orang yang hidup untuk politik” dalam arti bertindak dan berpikir untuk kepentingan bersama masyarakat.

Sebagai bangsa, kita belum berhasil menyembuhkan sindrom lupa politis, kebiasaan untuk mudah melupakan dan memaafkan, termasuk terhadap perkara-perkara yang tak layak dilupakan dan dimaafkan. Kita punya persoalan serius dalam hal ingatan kolektif akan masa lalu. Hal-hal yang telah berlalu seperti dianggap tak relevan untuk dipersoalkan, dan kita begitu mudah beranjak ke masalah lain yang lebih baru. Di sini kita tidak hanya berbicara tentang peristiwa-peristiwa besar sejak republik ini terbentuk, namun juga komitmen jangka pendek, seperti program kerja tahunan, komitmen untuk menuntaskan kasus Bank Century, kasus Gayus Tambunan, komitmen untuk membereskan kebobrokan lembaga pemasyarakatan, atau komitmen untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Komitmen ini telah menjadi realitas politik atau hukum, telah dibentuk satuan tugas untuk melaksanakannya, tetapi tetap saja begitu mudah dilupakan begitu masalah lain muncul ke permukaan.

Perlu digarisbawahi, lupa politik ini bukan hanya problem pemerintah, namun juga problem masyarakat sendiri. Ada begitu banyak pemimpin yang terbukti korup atau tidak becus mengurusi pemerintahan, namun pada akhirnya tetap dipilih oleh masyarakat menjadi anggota DPR atau DPRD, atau menjadi bupati atau wali kota. Sekarang ini relatif mudah menyebutkan pemimpin yang korup atau menyeleweng, namun akhirnya tetap dipilih masyarakat untuk menjadi pemimpin. Begitu mudahnya penyelewengan terhadap amanat masyarakat dilupakan dan dimaafkan.

Pada sisi lain, ada begitu banyak skandal politik yang diangkat ke permukaan, mendominasi wacana media, menjadi perbincangan hangat para pengamat, menimbulkan kegaduhan nasional, namun berakhir tanpa kejelasan. Begitu pemberitaan suatu kasus mengalami kejenuhan, atau begitu muncul kasus baru yang tidak kalah menarik, proses untuk mengungkap skandal pun berakhir dengan antiklimaks, tanpa kebenaran. Kita tidak tahu bagaimana ujung-pangkal skandal-skandal yang menghebohkan: Buloggate, Bruneigate, Centurygate dan lain-lain. Arus pelupaan politik itu begitu kuat, bahkan sepertinya sistematik. Masyarakat sipil, media massa, dan kalangan intelektual sering tidak punya cukup energi untuk menahannya karena, pada waktu yang relative bersamaan, kita dihadang banyak masalah yang samasama membutuhkan perhatian serius.

Gerakan moral para agamawan mempermasalahkan kebohongan pemerintah dapat dilihat sebagai upaya memutus siklus pelupaan politik. Namun harus diingat, struktur kekuasaan kita mempunyai daya elastisitas untuk menghadapi tekanan opini publik. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menetralkan tekanan masyarakat, tanpa menyelesaikan pokok masalah. Misalnya dengan mengundang para agamawan untuk berdialog dengan presiden. Dialog berlangsung, kontroversi mereda, namun pokok masalah tetap tidak tertangani, dan perhatian kita mulai tersedot oleh masalah-masalah baru. Kemungkinan inilah yang mesti diantisipasi sejak dini.

Pemikir politik Hannah Arendt menganjurkan pemaafan sebagai mekanisme untuk memutus siklus kesalahan, untuk berdamai dengan masa lalu, untuk menghadapi masa depan dengan optimisme. Namun Arendt juga menegaskan, tidak semua kesalahan dapat dimaafkan begitu saja. Arendt menyebut kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Untuk konteks Indonesia, kita dapat menambahkan jenis kesalahan yang tidak dapat dimaafkan itu: korupsi, pemiskinan sistemik, ingkar-janji politik, pembohongan terhadap masyarakat.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/27/ArticleHtmls/27_01_2011_011_003.shtml?Mode=1

Older Posts »

Kategori