Oleh: Agus Sudibyo | Maret 27, 2008

Iklan Teluk Buyat dan Sensibilitas Media

 

Oleh: Agus Sudibyo

Sejumlah aktivis LSM memprotes serial Iklan tentang Teluk Buyat yang ditayangkan beberapa surat kabar dan stasiun televisi . Iklan bertajuk “Studi WHO Simpulkan Tak Ada Pencemaran di Buyat; Newmont: LSM Harus Bertanggung Jawab Atas Kepanikan Akibat ‘Mis-informasi’” itu memuat hasil penelitian National Institute for Minamata Disease bersama Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Departemen Kesehatan, yang menyimpulkan bahwa tidak ada polusi di Teluk Buyat.  Iklan PT Newmont Minahasa Raya (NMR) tersebut ditayangkan berbagai media sejak 14 Oktober 2004.

Aktivis LSM menilai iklan tersebut sebagai bentuk penyesatan informasi.  Penelitian tersebut tidak menjelaskan kondisi lingkungan secara keseluruhan dan tidak menjawab penyakit apa yang diderita warga Buyat karena hanya mengkaji kontaminasi logam merkuri dan metilmerkuri. Sementara Teluk Buyat diduga kuat tidak hanya tercemar merkuri. Ruang lingkup studi itu dianggap tak dapat dipakai untuk menarik kesimpulan lebih luas mengenai kondisi lingkungan Teluk Buyat. Oleh karena itu, mereka menuntut media massa menghentikan pemuatan iklan tersebut.

***

Iklan Teluk Buyat di satu sisi bisa berdampak positip bagi warga Teluk Buyat. Kasus pencemaran Teluk Buyat sempat mengguncang perekonomian warga Teluk Buyat. Isu pencemaran menyebabkan tidak ada yang mau membeli ikan hasil tangkapan mereka. Sementara menangkap iklan adalah sumber penghidupan utama mereka. Iklan Teluk Buyat dapat mengakhiri spekulasi soal pencemaran itu, dan warga Teluk Buyat mungkin dapat menjual ikan hasil tangkapannya seperti sedia kala.

Namun, bagaimana jika pencemaran itu benar-benar terjadi? Bagaimana jika penduduk Teluk Buyat benar-benar tercemari logam berat? Tentu saja, ini masalah yang sangat serius, menyangkut keselamatan dan masa depan begitu banyak orang. Sungguh tidak adil dan tidak manusiawi jika masyarakat harus menanggung derita akibat kontaminasi logam berat, sementara PT NMR dapat lenggang kangkung tanpa harus mempertanggungjawabkannya di depan hukum, dan tanpa memberikan kompensasi memadahi bagi masyarakat. Jika ini yang terjadi, iklan Teluk Buyat bukan hanya menyesatkan, namun juga tidak berperikemanusiaan.

Guna mengakhiri spekulasi tentang pencemaran Teluk Buyat, yang dibutuhkan adalah kebenaran. Dan bicara tentang kebenaran itu, masyarakat sesungguhnya justru berharap kepada pers. Apakah pers telah melakukan investigasi terhadap kasus ini? Dari berbagai sisi, kasus Teluk Buyat jelas  “layak” investigasi. Kasus ini bukan hanya kasus lingkungan semata, namun juga dapat dipersoalkan dari perspektif HAM, kemiskinan, dan eksploitasi ekonomi.

Jika kita perhatikan lebih seksama, pemberitaan media tentang kasus ini  belum menyentuh aspek kedalaman. Berita-berita itu notabene bersifat informatif dan artifisial belaka. Media memposisikan diri sebagai konsumen informasi. Informasi dan klaim yang diberikan oleh pihak LSM atau pihak PT NMR dikonsumsi dan disajikan apa adanya, tanpa ada upaya indept reporting lebih jauh. Yang terjadi kemudian adalah debat kusir, tanpa kesimpulan dan kebenaran.

Di sinilah kita menemukan kelemahan pers Indonesia hingga saat ini. Cenderung tidak mau keluar dari pola pemberitaan hardnews atau straightnews, bahkan untuk kasus yang besar dan sensitif seperti kasus Teluk Buyat.  Ada contoh menarik di sini. Menjelang pemilu legislatif April 2004,  para aktivis LSM yang berada di balik gerakan anti politisi busuk ragu-ragu untuk memberikan data-data soal politisi busuk itu kepada pers. Mereka khawatir, pers mentah-mentah menelan data tersebut dan mengambil kesimpulan. Sementara yang diharapkan adalah pers memperlakukan data-data itu sebagai data awal untuk melakukan investigasi lebih lanjut.

Dengan memuat iklan Teluk Buyat, media massa secara tidak langsung turut membenarkan pembelaan PT NMR bahwa tidak terjadi pencemaran di Teluk Buyat. Media massa dalam hal ini secara tidak sadar telah mengambil posisi. Sementara kebenaran soal pencemaran itu sendiri sesungguhnya masih simpang siur. Pertanyaannya, mengapa media tidak kritis terhadap klaim PT NMR, seperti halnya media harus kritis terhadap klaim LSM?

Sikap kritis dan skeptis adalah elemen penting dalam jurnalisme. Pengalaman media-media Amerika Serikat dalam kasus Irak  menjadi contoh menarik. Semula mereka mendukung keputusan untuk menyerang Irak, karena termakan propaganda Bush tentang senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak. Namun pada akhirnya, mereka sadar bahwa senjata pemusnah massal itu tidak ada, dan keputusan menyerang Irak adalah keputusan yang salah. Mereka akhirnya meminta maaf kepada publik karena telah terburu-buru mendukung keputusan Bush menyerang Irak.

Media tak boleh mudah percaya terhadap narasumber, dan harus melakukan pelacakan informasi sendiri. Namun bukankah yang dipersoalkan dalam kasus ini adalah iklan, bukan berita? Bukankah urusan iklan berbeda dengan urusan jurnalistik? Demikianlah kira-kira pembelaan pihak media.

Saya membayangkan, betapa janggalnya ketika dalam iklan media mengafirmasi klaim PT NMR bahwa pencemaran tidak terjadi, sementara pemberitaan media menggambarkan kebenaran tentang kasus ini masih simpang-siur, alias dalam status quo.

*    *     *

Dalam kehidupan masyarakat modern, media massa selalu dalam tegangan antara fungsi sebagai institusi sosial dan institusi bisnis. Sebagai institusi sosial media dituntut untuk kritis terhadap keadaan dan sensitif terhadap ketimpangan-ketimpangan disekitarnya. Dalam kasus iklan Teluk Buyat, ketimpangan itu bisa berupa ketimpangan untuk mengakses media. PT NMR mempunyai kapasitas untuk memasang iklan advertorial di berbagai media. Namun bagaimana dengan kelompok masyarakat dan LSM di sisi lain? Mereka tidak mempunyai cukup dana untuk melakukan hal serupa.

Sebagai institusi sosial, media akan sangat berhati-hati dalam hal ini. Memberikan akses yang proporsional (meski tidak sepenuhnya seimbang) kepada kedua belah pihak, adalah opsi paling ideal ketika kebenaran tentang kasus Buyat sendiri masih sumir.

Namun sebagai institusi bisnis media terkondisikan untuk tidak selektif dalam menerima tawaran iklan. Media cenderung akan menerapkan prinsip first come first serve: siapa yang datang duluan dengan penawaran menggiurkan, akan diutamakan. Trend di berbagai media juga menunjukkan, divisi marketing lebih jauh lebih menentukan daripada divisi pemberitaan. Pertimbangan-pertimbangan bisnis kerap mengalahkan pertimbangan-pertimbangan redaksi.

Bagaimana agar tegangan antara media sebagai institusi sosial dan institusi bisnis ini tidak terlalu jauh merugikan kepentingan publik. Kuncinya ada pada public demand yang kuat. Publik harus secara kontinyu melakukan pressure terhadap media agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip etika publik dan sensitif terhadap kepentingan umum. Fungsi pemantauan media (media wacthing) harus menjadi kesadaran bersama yang tidak terbatas pada LSM media dan lembaga konsumen.


Penulis : Agus Sudibyo, Peneliti ISAI


Tinggalkan komentar

Kategori